10 January, 2020
Kenapa nggak belajar disebut bodoh, kan lagi males saja.
Kenapa nggak punya patjar disebut jomblo padahal kan lagi apes sahaja.
Kenapa begini, kenapa begitu kan bukan salah saya…
Tidak berapa lama setelah saya lulus dari D-III STAN, saya ditugasi untuk magang di KPP Pratama Banyuwangi. Dulu itu tahun 2008 kalo nggak salah. Sebagai lulusan akuntansi yang nggak ngerti akuntansi sampai sekarang akan terasa kurang akrab bekerja dengan pekerjaan utama 100% terkait pajak.
Tentu semasa kuliah puluhan dosen sudah menjejali otak saya dengan banyak ilmu pajak. Ah.. tapi ini mungkin daya tangkap saya yang lemah plus tekad belajar yang kurang bernafsu menjadikan saya cuma banyak bengong di hari-hari pertama saya magang.
Waktu itu jika ada pegawai disana nanya kesana coba hitungkan berapa PPh 21 kayawan ini atau berapa PPh final yang harus dibayar, maka saya harus berhenti sejenak untuk kembali mencoba menggali memori terdalam sewaktu kuliah, apa itu pajak PPh 21 dan apa itu pajak final.
Dengan berbekal mentor kilat dari pegawai tetap dan tumpukan kitab buku UU KUP, PPh dan PPN akhirnya saya sedikit-dikit mulai tercerahkan. Dengan penjelasan to the point sang pegawai menjelaskan.
“Disebut PPh 21 itu karena adanya di UU PPh di Pasal 21 yang isinya tentang pajak atas gaji, pemotong dan seterusnya.. ” kata sang pegawai.
“Oh gitu ya mas,” kataku sambil mengangguk-angguk lega.
“Kalau PPh Final itu sebutan lain dari PPh Pasal 4 Ayat (2), karena sifat bayar yang final jadi nggak usah dihitung lagi pajaknya waktu lapor SPT tahunan nanti,” dianya menambahkan penjelasannya lagi.
“Tapi kenapa PPN gak ada sebutan pasalnya mas?” tanyaku lagi.
“Ya karena PPN ada di UU PN tersendiri jadi full UU-nya cuma bahas PPN aja isinya”, tambahnya lagi, “Kalau PPh kan macamnya banyak mas obyek dan jenis kegiatannya”
Mendengar penjelasan yang cukup simpel itu, disitu saya merasa sedih, ngapain saya nggak rajin belajar dulu waktu kuliah, untung lulus, gimana kalau nggak..??